Setelah lulus esema, hal yang menjadi pemikiran gue
selanjutnya sama seperti anak-anak kebanyakan, melanjutkan ke jenjang kuliah.
Gue heran juga, kenapa gue punya pemikiran yang bisa sama persis dengan
anak-anak yang lain, padahal sumpah gue nggak pernah nyontek pemikiran mereka.
Sumpah! Sepertinya, pemikiran dan keinginan untuk melanjutkan ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi merupakan naluri alamiah seorang pelajar.
Sebagaimana ikan-ikan yang memiliki naluri alami untuk berenang, juga seperti
seekor ayam yang memiliki naluri alami untuk menyeberang jalan serta seperti
seorang maling motor yang memiliki naluri alami untuk mencuri motor bukan mobil.
Karena jika maling motor tersebut mencuri mobil, dia dipastikan memiliki
kelainan gen yang menyebabkan terjadinya mutasi dalam pemikirannya. *apasih*
Kita tahu
bahwa untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, perkuliahan,
kita diharuskan mendaftar dan memilih jurusan yang diinginkan. Ini berbeda
dengan sekolah gue selama ini, nggak tau kalau sekolahan kalian. Saat gue mau
masuk esema, gue hanya tinggal daftar di sekolah yang gue inginkan tanpa perlu
mau ambil jurusan ini atau jurusan itu.
Karena memang di tahun pertama belum ada penjurusan. Di tahun kedua pun dalam
mendapatkan jurusan, kami tidak memilih, tapi dipilihkan. Kehidupan gue di
sekolah memang nggak bebas, apa-apa ditentukan guru. Milih jurusan, guru yang
menentukan. Peraturan kelas, guru yang menentukan. Soal ulangan, guru yang
menentukan. Bahkan jawaban yang benar dari soal ulangan tersebut tetap guru
yang menentukan. Padahal di sekolah diajarkan tentang kebebasan individu, tapi
nyatanya mereka yang menentukan semuanya.
Dalam
memilih jurusan, gue berkonsultasi dengan berbagai pihak. Mulai dari bokap
nyokap gue, temen-temen gue, saudara-saudara gue, guru sekolahan gue, guru
ngaji gue sampai sopir bus yang jadi langganan gue kalo keluar kota. Hasilnya,
mereka mengusulkan jurusan yang mereka anggap bagus dan cocok buat gue. Nyokap
gue nyaranin keguruan, bokap gue nyaranin kepolisian, temen gue nyaranin bidang
eksak non-keguruan, guru sekolah gue nyaranin guru bidang fisika (yang guru
fisika), nyaranin guru Bahasa Indonesia (yang guru Bahasa Indonesia), nyaranin
guru Matematika (yang guru Matematika), guru ngaji gue nyaranin guru agama, dan
sopir bus nyaranin jurusan Tayan-Pontianak.
Kalau
kalian sependapat dengan pemikiran gue, *berarti
kalian nyontek pikiran gue* mereka semua nyaranin jurusan bukan yang sesuai
dengan gue, tapi sesuai dengan keinginan mereka. Sesuai bidang yang mereka
sukai, bukan yang kira-kira cocok buat gue. Dari hasil konsultasi tersebut, gue
nggak dapat apa-apa, karena yang mereka sebutkan ada semua di daftar jurusan
yang harus dipilih. Sama saja dengan gue nanya diri sendiri, ‘gue mau ambil jurusan apa ya?’, terus
gue tinggal lihat daftar jurusannya. Tidak membantu.
Dalam
kebingungan bagaimana jika gue salah jurusan? Bagaimana kalau ternyata SPP-nya
mahal? Bagaimana kalau jurusan tersebut tidak laku? dan bagaimana bisa Stella
keluar dari JKT48? Gue teringat dengan nenek gue. Gue belum mengonsultasikannya
dengan nenek. Gue tahu nenek gue nggak pernah merasakan menjalani perkuliahan
karena dia sekolahnya saja cuma sekolah rakyat. Tapi gue selalu percaya dengan
senandung Wali Band, bahwa nenek itu pahlawan. Walau gue nggak pernah membaca
di buku sejarah ada seorang nenek yang gagah bergayung melawan penjajah
sekalipun, tapi gue percaya.
Ketika
gue menceritakan kegelisahan gue dalam memilih jurusan perkuliahan, nenek gue
senyum kayak senyuman orang-orang sakti di film Kaca Benggala yang sudah mengetahui lawannya akan berbuat apa.
Nenek menceritakan suaminya, kakek gue, pernah berkata sebelum kematiannya
bahwa suatu saat nanti kakak gue akan memegang tasbih dan gue memegang pulpen.
Gue langsung berpikir, kakak gue bakal jadi pemain film laga yang melawan Mak
Lampir dengan tasbihnya dan gue menjadi
penghulu. Iya, penghulu, karena di kampung gue dulu, zamannya kakek,
yang punya pulpen cuma penghulu. Kasian banget emang kampung gue dulu.
“Kakakmu
akan memegang tasbih, dan kamu akan memegang pulpen”, kata nenek gue dengan
senyuman khasnya tanpa gigi yang indah, namun percayalah elu bakal merasa adem
ngeliat senyuman seorang nenek.
“Maksudnya
gimana nek? Kamek jadi penghulu?”, tanya gue dengan penasaran. Gue kasih tau,
di daerah gue, ‘kamek’ itu artinya ‘aku’ atau ‘saya’ dalam bahasa Indonesia
yang baik dan benar.
“Bukan..heheheh...”,
kata nenek sambil tertawa, “Kakakmu nanti akan jadi ustad atau ulama, kamu jadi
orang yang hidup bekerja dengan pulpen.”, lanjutnya.
Di
pikiran gue tetap terpampang jelas gue memakai kopiah dan berpindah dari satu
walimahan ke walimahan yang lain. Gue bakal jadi penghulu, kayaknya. Setelah
perbincangan gue dengan nenek, gue kembali ke tempat gue mengisi formulir
pendaftaran. Gue lihat berkali-kali, nggak ada apa-apa. Gue lihat sekali lagi,
tetap nggak terjadi apa-apa. Padahal gue sudah ngarepin, formulir tadi berubah
jadi foto gebetan, biar gue adem ngelihatnya.
Fisika, Biologi, Matematika, Sipil, Arsitektur, Kedokteran, Perawat,
Farmasi, Hukum, Kehutanan dan banyak lagi jurusan yang berbaris di buku
petunjuk yang disertakan dengan formulir pendaftaran. Gue sambil berpikir, dari
jurusan tadi, yang mana ya yang paling erat hubungannya dengan pulpen. Gue
percaya yang dibilang nenek, karena saat itu kaka gue sudah jadiustad di
pesantren. Fisika eratnya dengan alat ukur. Biologi, tanam-tanaman dan
binatang. Matematika, kalkulator. Sipil, bom—gue dulu mikirnya begitu karena kalo ada bom pasti yang jadi korban
adalah warga sipil, gue emang nggak tahu. Arsitek, alat-alat gambar. Dokter,
alat suntik. Perawat, PNS—kebanyakan
perawat jadian ama orang yang berprofesi Pegawai Negeri Sipil, itu hasil survey
gue. Farmasi, obat-obatan. Hukum, palu. Kehutanan, monyet. “Kayaknya Arsitek deh yang paling dekat.”
Setelah berpikir berulang-ulang, gue mulai memutuskan. Setelah memantapkan
diri, tanpa berpikir panjang lagi kenapa Morgan hengkang dari Smash, gue
menetapkan, gue bakalan ambil jurusan arsitektur. Gue tuliskan kode jurusan
arsitektur di formulir dan dengan semangat yang dipenuhi harapan, gue memegang
kencang pulpen di tangan kanan dan formulir di tangan kiri, lalu berucap, “Arsitektur, tunjukkan gue ke jalan yang
lurus”.
ngetes komentar
BalasHapustengtong
Hapus@@,
Hapusapaan
Hapuscepet loadingnya
Hapusiya bagus
Hapusapaan
Hapusberrr
BalasHapuskacau
Hapusbagaiamana minugsjsdldvbfv
BalasHapusfdgvdfggb
fgsddffsdsddg jdffksgvms nkgsnnk am
fsafkhgkjhk hhkksdfhgkkfd hkdfshkhkjfs
faaghjghkg haghkjdshvkfsdjh
gjhskhdkjsdhgkshhhjhgsjs
gk hkjhsafjhhfkhshfkj
g skhgjhkhkjhg